28/03/2024

Implementasi kerjasama Fakultas Hukum UP45 dengan RRI Yogyakarta

          Perkawinan adalah hal yang didambakan oleh setiap orang. Melalui perkawinan, seseorang dapat membentuk keluarga bersama pasangannya untuk menjalani kehidupan baru, serta mempunyai keturunan. Di Indonesia, perkawinan diatur dalam KUHP Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkainan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), dan peraturan lainnya. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang  Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian Perkawinan ialah ikatan lahir batin, antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan diakui sebagai ikatan suci, yang mana ketika seorang laki-laki sudah mengucapkan ijab qobul, maka saat itu pula ia akan berjanji untuk membangun keluarga yang kekal hingga akhir hayat. Sebisa mungkin, setiap permasalahan yang terjadi dalam sebuah keluarga, dapat diselesaikan dengan baik dan menghindari kata “pisah” atau “cerai”. Namun, saat ini seiring bertambah majunya kehidupan, arti perkawinan yang memegang teguh tujuan untuk membangun keluarga yang kekal semakin bergeser. Akhir-akhir ini, banyak terjadi perceraian, tidak hanya dari kalangan artis selebritis, tetapi juga merambah di kalangan warga biasa.

Di Kabupaten Bantul misalnya, daerah yang memiliki angka perceraian tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan data Pengadilan Agama Bantul tahun 2016, cerai talak atau suami gugat istri ada 277 perkara, sedangkan untuk gugat cerai atau istri gugat suami ada 941 perkara (bantul.sorot.co). Untuk tahun 2017, dari bulan Januari-September kasus yang sudah ditangani, untuk talak ada 277 perkara sedangkan untuk gugat cerai ada 783 perkara,” ujar Hakim sekaligus Juru Bicara (Jubir) Pengadilan Agama (PA) Bantul, Yuniati Faizah, Sabtu (07/10/2017).

Melihat tingginya data tersebut setiap tahunnya, maka untuk mengantisipasi masalah  setelah adanya perceraian ataupun masalah saat terjadi perkawinan, sering dilakukan atau dibuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan. Awalnya, perjanjian perkawinan hanya bisa dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. namun, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 69/PUU-XIII/2015, perjanjian perkawinan bisa juga dibuat selama berkawinan berlangsung.

Dalam perjanjian perkawinan, kita dapat mengatur banyak hal, yang paling lazim adalah mengenai klasifikasi harta, baik itu harta bawaan, maupun harta bersama. Namun, tidak hanya terbatas pada materi tentang harta, perjanjian perkawinan juga dapat mengatur hak-hak lain misalnya, hak dan kewajiban dari suami istri, apa yang tidak boleh dilakukan keduanya selama perkawinan berlangsung, bahkan sampai kepada hak asuh anak saat terjadi perceraian.

Pada dasarnya, perjanjian perkawinan bertujuan untuk melindungi kepentingan dan hak masing-masing dari suami, istri, bahkan kepentingan anak juga dapat diatur dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi, kebanyakan masyarakat masih menganggap perjanjian perkawinan adalah sesuatu yang tabu. Padahal, adanya perjanjian perkawinan itu sangatlah penting dalam membangun sebuah keluarga. Kita memang tidak berharap bahkan tidak pernah berharap untuk bercerai dengan pasangan, akan tetapi, kita tidak dapat mengetahui apa yang terjadi kedepannya. Oleh karena itu, kita perlu mengantisipasi kepentingan maupun hak-hak kita dengan perjanjian perkawinan tersebut.

Siaran Perdana kali ini di RRI Yogyakarta dalam rogram Forum Hukum pada Hari Selasa, 27 Maret 2018 pukul 20.00-21.00 WIB, ternyata mengundang minat pendengar untuk mengajukan pertanyaan kepada narasumber. Tercatat ada 2 (dua) pendengar yang memberikan pertanyaan, yaitu :
Pak Hasan dari Pleret, melalui saluran telepon menanyakan tentang pembagian waris jika memiliki dua istri. Ibu Yuli di Sleman menanyakan tentang bagaimana prosedur membuat perjanjian perkawinan, apakah harus ke notaris atau tidak.

Tulisan ini adalah materi siaran di RRI yang terlaksana pada 27 Maret 2018. Siaran di RRI Yogyakarta ini adalah realisasi kerjasama Fakultas Hukum UP45 dengan pihak RRI Yogyakarta, yang berlangsung mulai tahun 2018 ini. Adapun narasumber yang terlibat dalam siaran ini adalah Dinar Lingga Damayanti, seorang Dosen Fakultas Hukum UP45 dan juga PIC LKBH FH UP45. Narasumber selanjutnya adalah Sulfi Amalia, alumni Fakultas Hukum UP45 dan sekarang sedang melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Janabadra Yogyakarta. (S.A)